Jumat, 25 April 2008

Kurikulum??? Ganti lagi dink,

Perubahan Kurikulum Pendidikan dan Inkonsistensi Pemerintah 30 Juli, 2007

Posted by Sir Spitod in Essay-ish, Schooling, eXperience.
trackback

Tak dapat dipungkiri, pendidikan yang baik adalah investasi yang tak ternilai untuk kemajuan bangsa. Maka, untuk menstandarkan materi-materi pendidikan yang diberikan dalam sekolah, disusunlah kurikulum oleh pemerintah sebagai pedoman sistematis yang wajib dilaksanakan bagi institusi-institusi pendidikan di Indonesia dalam materi pelajaran. Kurikulum akan menentukan materi yang wajib diberikan, urutan pemberiannya, indikator-indikator pemahaman siswa, dan banyak lagi. Dengan begitu banyak poin penting yang diatur dalam kurikulum, penyusunan kurikulum yang tepat sangatlah krusial untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

Namun, di saat jaman reformasi ini, kurikulum yang dikeluarkan pemerintah senantiasa berubah secepat seseorang bosan dengan mainannya. Bahkan, dapat terlihat bahwa setiap kali berganti menteri pendidikan maka hampir dapat dipastikan kurikulum juga akan diubah. Apakah sering berganti-ganti kurikulum itu baik? Tergantung. Sebetulnya apabila kurikulum baru memang lebih efektif dan cocok dengan realita di lapangan, maka itu baik. Tapi, apa bila kurikulum itu tidak efektif dan sulit direalisasikan dengan sempurna, maka yang terjadi adalah kebingungan dan miskonsepsi. Bila hal itu terjadi, maka yang paling menjadi korban adalah siswa, korban dari proyek Depdiknas dan menteri baru yang ingin “tampil beda”.

Angkatan saya adalah angkatan kelinci percobaan, yang mengalami semua jenis kurikulum pemerintah yang semakin lama semakin tidak konsisten. Kurikulum 1994, KBK(Kurikulum Berbasis Kompetensi), KTSP(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), dan berbagai variasi minor di antara ketiganya. Perubahan kurikulum yang begitu cepat telah mengakibatkan banyak kebingungan pada angkatan kami, baik para guru mau pun siswa. Lebih parah lagi, kurikulum-kurikulum baru ini seperti dibuat asal jadi. Kenapa saya berani berkata begitu? Pada kelas X, kami bergelut dengan kurikulum KBK, yang kami sebut juga Kurikulum Berbasis Kebingungan. Pada pelajaran Fisika, salah satu materi yang diberikan adalah tentang GLBB(Gerakan Lurus Berubah Beraturan). Dalam materi ini kami dipaparkan satu konsep yang benar-benar baru: Integral & Differensial. Sedangkan, pelajaran Differensial dalam matematika baru diberikan di kelas XI, dan Integral di kelas XII. Tidak adanya sinkronisasi antar pelajaran ini membuat materi Fisika tersebut tidak terserap dengan sempurna, dan materi Matematika juga kami jadi belajar dua kali, yang merupakan pemborosan waktu. Kelemahan ini menunjukkan, kurikulum ini tidak dipikirkan secara matang. Bahkan banyak yang beranggapan sistem kurikulum KBK, yang meniru kurikulum negeri-negeri barat, memang sulit untuk diterapkan sepenuhnya di Indonesia. Hal ini karena kurikulum KBK sebenarnya menuntut agar satu guru hanya membimbing 10-15 siswa, evaluasi berkelanjutan, dan siswa diharuskan untuk berusaha mencari materi secara mandiri. Yang, bila dipikir dengan akal sehat, penerapan sepenuhnya di indonesia sekarang adalah mustahil. Tetapi tetap saja KBK diterapkan, dan maka beberapa sekolah, termasuk sekolah saya juga beralih pada kurikulum KBK. Walau lucunya kurikulum KBK pada akhirnya tidak pernah disahkan!

Jalannya pendidikan tetap berlanjut. Pada tahun 2006, pemerintah memberi “kejutan” baru. KTSP, yang terkenal dengan sebutan kurikulum KaTeSiaPe. KBK yang baru setengah jalan harus ditinggalkan, karena sekarang pemerintah bilang KTSP. Mau tidak mau sekolah harus patuh. Dalam sisi positif, sebetulnya kurikulum KTSP ini memberikan otoritas baru bagi para guru dan sekolah, karena kurikulum ini membolehkan mereka untuk membentuk kurikulum tersendiri. Hal ini dapat melecut kreativitas dan profesionalitas guru dalam konsep pendidikan efektif. Sayang, pemerintah tetap mengulangi kesalahan yang sama. Pelaksanaannya cenderung terburu-buru dan tidak merata. Para guru di sekolah belum mempunyai pengalaman dalam membuat kurikulum tersendiri, sedangkan masa sosialisasi KTSP tergolong amat singkat untuk perubahan sistim yang signifikan seperti itu. Dan juga, kurikulum ini mengubah beberapa urutan materi yang diberikan, misalnya materi yang sebelumnya diberikan pada semester pertama, menurut ketentuan baru ini harusnya diberikan semester kedua. Implikasinya adalah dalam beberapa materi siswa harus belajar kembali suatu materi di semester kedua, padahal pada semester pertama materi tersebut materi itu sudah dianggap selesai! Tentu saja hal ini absurd, untuk apa mengulang sedangkan materi lain mendesak serta UAN semakin dekat? Maka beberapa guru pun mengabaikan perintah kurikulum dan tetap memfokuskan pada materi yang belum selesai. Akibatnya, kurikulum KTSP hanya tinggal nama saja.

Semua hal di atas adalah sebuah ironi. Pada jaman dahulu pendidikan di Indonesia adalah acuan bagi negara tetangga. Namun sekarang, kita telah tertinggal jauh dari bekas “murid” kita. Mengapa? Karena kurikulum kita yang seharusnya menjadi pangkal tombak pendidikan tidaklah konsisten dalam pelaksanaannya. Dan bila kita tidak berubah sikap sekarang juga, Indonesia takkan bisa maju. Semoga pemerintah segera menyadari hal ini dengan memperbaiki kesalahan-kesalahan di kurikulum yang baru, menyempurnakannya dengan memperhitungkan kondisi di lapangan, dan menerapkannya secara tahapan sistematis yang konsisten untuk jangka panjang. Kurikulum sebagus apapun takkan bisa berjalan mulus jika tidak dijalankan secara konsisten dan berkesinambungan. Kurikulum pendidikan di Indonesia membutuhkan penyempurnaan, bukan pergantian konsep terus-menerus tanpa hasil yang berarti.

Tidak ada komentar: